JAKARTA, - Sindiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal perilaku jaksa nakal yang sering menjadikan para tersangka sebagai "mesin ATM" alias diperas, memang bukan merupakan masalah baru. Apa yang disampaikan Jokowi pada peringatan Hari Bakti Adhyaksa ke-55 Kejaksaan Agung yang jatuh pada 22 Juli lalu itu, sejatinya adalah persoalan lama yang seolah sulit dienyahkan dari tubuh Korps Adhyaksa.
Melihat beberapa kasus dugaan pemerasan tersangka oleh oknum jaksa yang penanganannya tak serius, wajar kiranya jika membuat Jokowi kembali mengingatkan jajaran Kejaksaan Agung terkait persoalan ini. Di tahun ini saja misalnya, ada beberapa berita besar terkait laku lancung jaksa dalam memeras para tersangka.
Medio Mei lalu misalnya, kota Surabaya dihebohkan oleh pengakuan Go Ka Yuan alias Ayen alias Stenly (41) seorang tersangka kasus narkotika yang mengaku diperas jaksa SW dari Kejari Surabaya sebesar Rp150 juta agar tidak dijadikan terdakwa. Untuk itu, sang terduga bandar narkotika ini mengaku sudah menyerahkan uang kepada SW sebesar Rp80 juta.
Bahkan menurut pengakuan Stenly, awalnya dia dimintai uang sampai sebesar Rp450 juta. Jika dipenuhi, Stenly dijanjikan SW hanya akan didudukkan sebagai pengguna dan hanya akan dikenakan hukuman rehabilitasi. Kasus ini terungkap setelah Stenly buka-bukaan di pengadilan lantaran dia dihukum penjara 5 tahun 6 bulan dan didenda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara.
Kemudian masih dari Jawa Timur, dan juga masih di bulan Mei, seorang pedagang bahan bangunan bernama Misri (46) mengaku diperas jaksa saat menjadi saksi kasus korupsi bedah rumah yang didanai APBN 2013. Misri mengaku dirinya diperas dua oknum penyidik Pidsus Kejaksaan sebesar Rp100 juta.
Modusnya, kata Misri, kedua jaksa itu mengaku meminjam uang dan kalau urusan selesai akan dikembalikan. Misri mengatakan, dia menyerahkan uang beberapa tahap yaitu sebesar Rp20 juta, Rp40 juta, Rp25 juta dan terakhir Rp15 juta yang diserahkan di ruang Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Sayangnya, Misri tak berhasil menunjukkan bukti penyerahan itu, dengan alasan, pada oknum jaksa itu tak mau membuat tanda terima saat penyerahan uang terjadi.
Kedua kasus ini kemudian, seolah lenyap begitu saja tanpa ada penanganan lebih lanjut. Dalam kasus Stanley, Asisten Pengawasan (Aswas) Kejati Jatim Arief mengatakan, kasus ini direkomendasikan untuk dihentikan karena tidak ada bukti kuat. Rekomendasi tersebut sudah dikirim ke pengawasan Kejaksan.
Juga dalam kasus di Banyuwangi, Kasi Pidsus Kejari Banyuwangi M. Arif Abdillah mengatakan, untuk kasus ini lebih baik ditanyakan langsung kepada kedua oknum jaksa yang dituduh memeras Misri. Jaksa yang dituduh, yaitu Elsius, juga membantah tudingan Misri itu. Elsius justru mengaku diberi oleh Misri alias disuap.
Terhadap sindiran Jokowi soal ada jaksa yang memeras tersangka, Jaksa Agung HM Prasetyo sendiri tak menampiknya. Namun, kata dia, itu tidak bisa dilekatkan pada perilaku semua jaksa. Ada ribuan jaksa di seluruh Indonesia, sementara yang dimaksud Presiden hanya kasuistik. "Satu dua orang mungkin ada, itu yang kita benahi. Kita tidak ada kompromis dengan praktik-praktik seperti itu," kata Prasetyo, beberapa waktu lalu.
BERSARANG DI KEJAGUNG.... ? - Prasetyo sah-sah saja membela jajaran di bawahnya dengan mengatakan kasus-kasus itu sifatnya kasuistik. Terlebih, pada banyak kasus, isu pemerasan jaksa terhadap para tersangka juga lebih sering lenyap begitu saja seiring kasus dilimpahkan ke pengadilan atau telah dijatuhi vonis oleh pengadilan.
Hanya saja, hal itu seharusnya tidak dijadikan alasan bagi Prasetyo untuk tidak memperhatikan apa yang menjadi kekhawatiran Presiden Jokowi. Pasalnya, diduga, kasus-kasus macam ini justru ditengarai banyak terjadi di Kejaksaan Agung sendiri. Kita tentu masih ingat di awal tahun 2014 lalu, tersangka kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Blok 2, Belawan, Bahalwan mengaku ingin bunuh diri lantaran lelah diperas oleh oknum jaksa.
Bahalwan mengaku, ada jaksa berinisial BIJ itu meminta uang sebesar Rp10 miliar darinya. Karena itulah, Bahalwan mengaku nekat mengacungkan senjata api yang diakuinya hendak dipakai untuk bunuh diri.
Ketika itu, pihak Kejaksaan Agung sendiri menganggap sepi pernyataan Bahalwan dan meminta publik tak percaya begitu saja pada ucapan Bahalwan. Kasus ini pun lenyap begitu saja seiring kasusnya mulai dilimpahkan ke pengadilan.
Toh, aroma permainan perkara yang bermodus pada menjadikan tersangka sebagai mesin ATM tak lenyap begitu saja. Beberapa kasus bersar yang ditangani Kejaksaan Agung yang penanganannya sangat lambat, dicurigai juga memiliki modus sedemikian.
Dua perkara yang kasat mata diduga terjadi perlakuan diskriminatif terhadap tersangkanya yang dipertontonkan Kejaksaan Agung adalah dugaan korupsi pembangunan gedung T-Tower Bank Jawa Barat Banten (BJB) dan korupsi Jaringan Sampah di Pemprov DKI Jakarta. Pada kasus T-Tower BJB, ada satu tersangka yang hingga kini seolah tak tersentuh tangan hamba wet di Kejagung. Dia adalah Direktur Utama Direktur PT Comradindo Lintasnusa Tri Wiyasa (TW).
Padahal dalam kasus yang sama, satu tersangka lain yaitu mantan Kepala Divisi Umum BJB Wawan Indrawan, perkaranya akan segera disidangkan di ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. "Berkas perkaranya (Wawan) sudah kita limpahkan ke Kejati Jabar, sudah," kata Kepala Subdirektorat Penyidikan Kejaksaan Agung Sarjono Turin kepada gresnews.com, Minggu (26/7).
Meski begitu, Turin membantah ada "permainan" sehingga Tri Wiyasa masih melenggang bebas. Untuk Tri Wiyasa, kata Turin, penyidik masih mengupayakan pengejaran. Karena beberapa kali dipanggil, adik Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Tri Wisaksana ini mangkir.
Dalam kasus satunya yaitu kasus korupsi jaringan sampah, ada juga tersangka yang diperlakukan istimewa yaitu, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemprov DKI Jakarta Erry Basworo. Pejabat DKI era Gubernur Foke ini juga masih melenggang bebas.
Beda dengan dua tersangka lain yang kini telah mendekam di Rutan Kejaksaan Agung yakni mantan Kepala Bidang Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas PU Rifiq Abdullah dan mantan Dirut PT Asiana Technologies Lestari Noto Hartono.
TEBANG PILIH PANGKAL KORUPSI - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman curiga sikap tebang pilih para penyidik kejaksaan dalam dua kasus itu menyimpan sesuatu yang tak beres. Dia bilang, perlakuan-perlakuan khusus semacam ini kerap menjadi pangkal korupsi dimana kalau tidak jaksa yang memeras, ya tersangkanya yang menyuap agar kasusnya dipendam.
Boyamin menegaskan, penyidik Kejaksaan Agung dalam dua kasus tersebut jelas telah melakukan tebang pilih dan memberikan perlakuan tidak adil terhadap tersangka. "Apalagi sudah jelas, penyidik memiliki keyakinan menahan terhadap para tersangka, tapi tersangka lain malah dibiarkan bebas," kata Boyamin kepada gresnews.com, Minggu (26/7).
Terlebih, kata Boyamin, tersangka yang tidak dikenakan penahanan tersebut diduga memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau memiliki modal agar dirinya tak tersentuh hukum. "Harusnya semua tersangka diperlakukan sama, apalagi ada tersangka yang sudah ditahan lebih sebulan tapi lainnya bebas," kata Boyamin.
Dengan perlakuan istimewa terhadap sejumlah tersangka, sentilan Presiden Jokowi yang menyebut masih ada oknum jaksa menjadikan tersangka 'ATM' boleh jadi memang benar. "Tidak ada 'makan siang' gratis, apalagi ini soal penahanan. Patut dicurigai para tersangka memang jadi ATM oknum jaksa," tegas Boyamin.
Hanya saja, untuk soal ini, lagi-lagi pihak Kejaksaan Agung memilih bersikap defensif atau malah cenderung mengabaikannya. Disoal tersangka perkara T-Tower BJB yang tidak ditahan karena perlakuan istimewa Kejaksaan Agung, Prasetyo mengatakan, untuk membuktikan tersangka benar-benar bersalah butuh bukti pendukung yang lengkap.
Tiap tersangka, kata dia, punya peran berbeda-beda. "Jadi jangan suuzdon dulu, mungkin perannya beda maka bukti pendukungnya tidak sama," kata Prasetyo.
Meski dibantah, kecurigaan adanya jaksa yang "main" dalam dua perkara itu memang sulit untuk disanggah. Untuk perkara korupsi T-Tower BJB misalnya, sejak awal penyidikan oleh Kejati Jawa Barat sudah tampak kasusnya akan bakal berliku atau bahkan akan menguap. Kasus ini disidik sejak 2013 lalu, namun seolah jalan ditempat. Akhirnya, tahun 2014 kasusnya diambil alih oleh Kejaksaan Agung.
Proyek berawal ketika BJB berniat membeli 14 dari 27 lantai di T-Tower untuk gedung kantor cabang khusus di Jakarta pada 2006. Lahan ini milik PT Comradindo dan disepakati harga tanah sebesar Rp543,4 miliar. BJB membayar uang muka Rp217,36 miliar. Sisanya dibayar secara mengangsur sebesar Rp27,17 miliar yang dibayar per bulan selama 1 tahun.
Belakangan diketahui tanah yang hendak dipakai untuk pembangunan gedung T-Tower diduga milik perusahaan lain serta adanya dugaan penggelembungan harga tanah. Akibatnya negara diperkirakan mengalami kerugian senilai Rp217 miliar lebih.
Ditetapkanlah dua tersangka, Tri Wiyasa dan Wawan Indriawa. Untuk mendalami kasus ini, sejumlah petinggi BJB diperiksa. Namun setahun kasus ini di Gedung Bundar juga kembang kempis. Menurut sejumlah jaksa, kasus ini telah membelah Gedung Bundar.
Saat jaksa penyidik menyatakan lengkap, namun jaksa peneliti menyatakan sebaliknya. Berkas perkara bolak-balik untuk dilengkapi oleh penyidik. Bahkan untuk melakukan progres kasus ini, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono harus membuat nota dinas agar kasus ini dipercepat. Namun nota itu tak digubris.
Barulah saat Satgassus terbentuk, perkara T-Tower BJB ini menemukan titik terang. Penyidik menahan Wawan Indrawan tapi Tri Wiyasa tidak. Berkali-kali dipanggil tidak hadir. Tapi penyidik tak juga melakukan panggilan paksa. Meski begitu Kejaksaan Agung tetap membantah diskiriminatif.
"Tidak ada diskriminatif, kalau tersangka TW selaku Direktur PT Comradindo Lintasnusa belum ditahan, bukan berarti tidak akan ditahan," kata Widyopramono di Kejaksaan Agung.
Belakangan, Tri Wiyasa dinyatakan buron oleh penyidik. Menurut jaksa, Tri Wiyasa selalu berpindah-pindah tenpat sehingga sulit jaksa untuk menangkapnya. Apalagi dalam kasus ini, Tri Wiyasa diduga berlindung di balik jejaring kekuasaan mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung yang ditunjuk sebagai penasihat hukumnya.
PESAN JOKOWI JELAS - Pada Peringatan Hari Bakti Adhiyaksa ke-55 sudah jelas pesan Presiden Jokowi terhadap institusi Kejaksaan. Kejaksaan dituntut untuk melakukan reformasi internal agar rakyat dapat melihat kesungguhan dan kesanggupan lembaga tersebut untuk meningkatkan kinerjanya.
Reformasi harus dilaksanakan terus menerus dan menyeluruh dari hulu sampai hilir, yang dimulai dari pembenahan integritas dan kompetensi jaksa tanpa kompromi. Sehingga jaksa dapat menjadi aparatur hukum yang baik, aparatur yang kritis di semua tingkatan.
"Saya tidak ingin mendengar lagi, aparatur hukum yang melakukan pemerasan, tindakan yang memperdagangkan perkara dan lain-lain untuk dijadikan ATM," kata Jokowi.
Hukum akan berjalan dengan baik apabila berada di tangan aparatur penegak hukum yang baik karenanya Jokowi sangat meyakini apabila terjadi perubahan dan perbaikan tersebut, kepercayaan publik akan semakin meningkat dan sosok jaksa akan semakin berwibawa, serta bermartabat di mata masyarakat.
Terkait kasus pemerasan oleh jaksa sendiri, di era Jaksa Agung Basrief Arief, Kejaksaan sebenarnya sudah memiliki unit yang disebut Unit Perlindungan Pelapor. Lewat unit itu, Kejaksaan Agung meyakinkan para tersangka yang memang diperas oleh oknum jaksa untuk melapor.
"Laporkan kepada pihak yang berwajib, bila terindikasi (ada oknum) jaksa yang meminta uang (terkait penanganan perkara)," kata Basrief ketika itu.
Basrief juga mengeluarkan surat edaran Nomor: B-139/A/C.9/08/2013, tanggal 14 Agustus 2013. Isinya Jaksa Agung meminta kepada seluruh Gubernur, Walikota dan Bupati se-Indonesia untuk tidak melayani permintaan dari para jaksa yang menangani perkara di daerah masing-masing.
Tindakan serupa, juga dilakukan dengan mengirmi surat Nomor: B-138/A/C.9/08/2013, tanggal 14 Agustus 2013) kepada seluruh Kejaksaan Tinggi (Kejati) se-Indonesia untuk diteruskan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) di wilayahnya masing-masing. Intinya Jaksa Agung ingin meyakinkan masyarakat agar melaporkan jaksa nakal yang berupaya memeras ke Kejaksaan Agung.
Laporan dapat dilakukan melalui Pos Pelayanan Hukum dan Pos Pengaduan Masyarakat (PPH&PPM) di masing-masing kantor Kejaksaan (pusat dan daerah) atau melalui e-pengaduan yang tersedia diwww.Kejaksaan.go.id dan unit layanan Aplikasi LAPOR ! UKP4.
Unit kerja ini bermaksud sebagai hotline centre pegawai untuk melaporkan segala jenis pelanggaran hukum dan etika serta pelanggaran lain yang terjadi di lingkungan Kejaksaan. Sayangnya, setelah Basrief lengser digantkan Prasetyo, kabar unit ini tak jelas lagi. Nah, daripada menyanggah ucapan Jokowi, tentu sebaiknya Jaksa Agung segera melakukan pembenahan internal. Salah satunya bisa dengan mengaktifkan kembali unit pengaduan ini. (greesnews-26072015) .