Tragedi yang terjadi di Tolikara Papua sepekan lalu nampaknya hingga hari ini masih menyisakan persoalan hukum yang belum terselesaikan. Bukan hanya terkait persoalan proses peradilan terhadap para pelaku penyerangan warga yang melaksanakan Sholat Idul Fitri, pembakaran masjid dan kios-kios milik warga, dan pemasangan bendera serta lambang negara Israel di rumah-rumah warga di Tolikara. Namun juga persoalan eksistensi Peraturan Daerah (Perda) Tolikara yang diduga memuat pelarangan pendirian rumah ibadah selain Gereja Injili Di Indonesia (GIDI).
Demikian dikatakan Seketaris Jenderal Solidarity Network for Human Rights (SNH) Advocacy Center, Harry Kurniawan dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi, Minggu (26/7).
Perda Tolikara itu menurutnya menjadi polemik di masyarakat sejak diakui kehadirannya oleh Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo. Kehadiran Perda yang melarang pendirian rumah ini dinilai sebagai akar permasalahan yang terjadi di Tolikara. Bahkan kehadiran Perda tersebut telah menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, tidak terkecuali DPR, Majelis Ulama Indonesia, dan pegiat hukum.
"Reaksi yang sebenarnya beralasan, karena secara hukum, Indonesia memang tidak mengizinkan Perda yang pembentukannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 250 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah tegas menyebutkan bahwa Perda dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan," ujar Harry Kurniawan yang juga pegiat hukum ini.
Menurut ketentuan Pasal 250 tersebut, lanjut Harry, Perda yang terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dapat dibatalkan. Pembatalan Perda Provinsi dilakukan oleh Mendagri, sedangkan Perda Kota/Kabupaten dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
"Apabila Gubernur tidak mau membatalkan, maka Mendagri yang akan mengambil alih kewenangan untuk membatalkan Perda dan Perkada Kota/Kabupaten tersebut," terangnya.
Harry menambahkan, bicara mengenai hukum adalah bicara tentang bukti. Untuk itu ia menyarankan agar Perda Tolikara tersebut dihadirkan wujud fisiknya terlebih dahulu dan kemudian dianalisis secara hukum baik dari aspek formil maupun materiilnya. Apabila benar terbukti apa yang disampaikan oleh Bupati Tolikara terkait keberlakuan Perda Pelarangan Rumah Ibadah, maka Perda tersebut tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun juga bertentangan dengan kepentingan umum.
Pasal 250 UU Pemerintahan Daerah telah melarang Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum, yaitu menyebabkan terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau menyebabkan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Untuk itu menurut Harry, Mendagri dengan kewenangan executive review yang dimilikinya dapat segera mengkaji Perda Tolikara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Apabila terbukti, Perda tersebut harus dibatalkan. Sedangkan pemerintah daerahnya, baik Bupati maupun DPRD Tolikara yang memberlakukan Perda tersebut, diberikan sanksi administratif.
Harry sangat mendukung upaya Mendagri yang akan mengkaji dan menemukan Perda Tolikara yang ramai diperbincangkan di masyarakat tersebut. "Kami dukung upaya Pak Tjahjo Kumolo, kami pun akan melakukan upaya hukum judicial review ke Mahkamah Agung apabila benar ditemukan Perda pelarangan pendirian rumah rumah ibadah tersebut," tukasnya. - (rmol-2607-15) - .
No comments:
Post a Comment