ACEH,-- Gubernur Zaini Abdullah menunjukkan sikap geramnya terhadap para kepala dinas, kepala badan, kepala biro, dan lainnya yang secara diam-diam terus menerima pegawai kontrak hingga sudah mencapai 8.000 orang. Angka ini hampir menyamai jumlah PNS Pemerintah Aceh yang berjumlah 9.000 orang.
Banyaknya pegawai kontrakan itu bukan hanya membuat banyak PNS tak ada kerjaan, tapi juga sangat membebani APBA. Setiap tahun tidak kurang Rp 250 miliar anggaran disediakan untuk membayar honor tenaga kontrak yang nilainya berkisar antara Rp 1,6 juta-Rp 2 juta/orang/bulan. Sedangkan hasil yang diberikan, jauh dari harapan.
Dampak lain akibat banyaknya tenaga kontrak adalah tidak jelasnya pembagian kerja dengan PNS. Para PNS datang pagi ke kantor hanya untuk absen. Keadaan seperti ini juga ditunjukkan para mantan pejabat eselon II, III, dan IV. “Padahal para PNS dibayar gaji dan tunjangan prestasi kerja yang jumlahnya jauh di atas honor yang diberikan kepada tenaga kontrak,” kata Gubernur Zaini.
Makanya, dua hari lalu gubernur secara tegas mengingatkan semua pejabat di jajarannya untuk menyetop penerimaan pegawai kontrak secara diam-diam. Sebab, selain mubazir juga membuat para PNS semakin malas.
Gubernur mengatakan, kalaupun kita butuh tenaga kontrak untuk keahlian tertentu, pengangkatannya melalui Sekda Aceh bukan langsung oleh kepala dinas yang bersangkutan.
Ledakan tenaga kontrak, menurut Zaini sudah ‘lampu merah’. Dia mencontohkan di Kantor Gubernur, jumlah tenaga kontrak mencapai 541 orang. “Ini sudah tidak rasional lagi. Sekda dan kepala biro perlu melakukan evaluasi untuk efisiensi agar tenaga kontrak jadi lebih efektif bagi peningkatan kinerja Pemerintah Aceh secara menyeluruh,” katanya.
Beberapa tahun lalu tenaga honorer ditiadakan. Namun, diam-diam cara penerimaan honorer itu diganti nama menjadi tenaga kontrak. Padahal, penerimaan tenaga kontrak ini, bila terpaksa, hanya dibolehkan untuk bidan dan keahlian khusus. Tapi, yang terjadi tidak demikian, semua lembaga tingkat provinsi ini merasa berhak menerima tenaga kontrak. Dan, celakanya tak ada yang mengawasi.
Berharap dewan akan melakukan pengawasan jelas tidak mungkin. Sebab, oknum anggota dewan termasuk bagian dari pelaku kecurangan itu. Lihatlah di dewan, jumlah pegawai kontrak sudah membludak. Komisi-komisi yang idealnya cukup dua tenaga administrasi, tapi kini malah memasukkan lima sampai tujuh orang. Sampai berdesak-desakan pegawai kontrak di dewan. Lebih parah lagi, sebagian besar tenaga kontrak itu sama sekali tidak jelas kualifikasi keahliannya.
Dulu pernah kita kenal istilah “korupsi berjamaah”, tapi untuk kasus ini istilahnya harus kita perluas dengan sebutan “KKN berjamaah”. Sebab, segala motivasi ada dalam proses masuknya pegawai kontrak secara tak terkontrol itu. Ada, yang paling menonjol adalah nepotisme.
Maka, instruksi menyetop masuknya tenaga kontrak itu juga harus dibarengi dengan penanggungjawab pengawasan. Jika tidak, tahun depan jumlah pegawai kontrak pasti akan bertambah.
No comments:
Post a Comment