Benny Wenda - (bennywenda.org) |
Jakarta,-- Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan kelompok Benny Wenda berada di balik penyerangan Polsek Sinak di Kabupaten Puncak, Papua, yang menewaskan tiga polisi. Kelompok itu pula, kata Badrodin, yang menembak pesawat rombongan Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw saat hendak mendarat di Sinak kemarin.
“Saat Kapolda akan melakukan evakuasi terhadap korban yang meninggal, dilakukan penembakan. Itu masih dilakukan oleh kelompok yang sama, yakni kelompoknya Benny Wenda,” kata Badrodin.
Polri menuding Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka sebagai dalang di balik peristiwa tersebut. “Ada indikasi penyerangan itu dilakukan oleh kelompok TPN,” ujar Wakapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Polri menuding Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka sebagai dalang di balik peristiwa tersebut. “Ada indikasi penyerangan itu dilakukan oleh kelompok TPN,” ujar Wakapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Benny Wenda, tokoh penggerak referendum kemerdekaan Papua sekaligus Kepala Perwakilan Organisasi Papua Merdeka pada kantor perwakilan OPM di London, Inggris, kini menjadi tertuduh.
Penggerak referendum Papua
Penyerangan sekelompok orang bersenjata terhadap Markas Polsek Sinak Papua hanya satu dari pelbagai kekerasan yang tak kunjung usai di provinsi paling timur Indonesia itu.
Peristiwa itu bagian dari gejolak keamanan sejak pemerintah Republik Indonesia merangkul Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969.
Papua –dan Aceh– menghendaki referendum setelah pemerintah RI mengizinkan rakyat Timor Timur menghelat referendum pada 1999.
Kala itu Benny merupakan pemimpin Dewan Musyarawah Masyarakat Koteka. Lembaga tersebut menunjang kinerja Dewan Presidium Papua (PDP) dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat tentang aspirasi rakyat Papua.
Periode 1999 hingga 2001 merupakan bulan madu antara warga Papua dengan pemerintah RI yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden keempat itu mengizinkan pengibaran Bendera Bintang Kejora, pelaksanaan Kongres Papua yang melahirkan PDP, serta penggunaan kembali istilah Papua untuk menghapus nama Irian Jaya.
Penggerak referendum Papua
Penyerangan sekelompok orang bersenjata terhadap Markas Polsek Sinak Papua hanya satu dari pelbagai kekerasan yang tak kunjung usai di provinsi paling timur Indonesia itu.
Peristiwa itu bagian dari gejolak keamanan sejak pemerintah Republik Indonesia merangkul Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969.
Papua –dan Aceh– menghendaki referendum setelah pemerintah RI mengizinkan rakyat Timor Timur menghelat referendum pada 1999.
Kala itu Benny merupakan pemimpin Dewan Musyarawah Masyarakat Koteka. Lembaga tersebut menunjang kinerja Dewan Presidium Papua (PDP) dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat tentang aspirasi rakyat Papua.
Periode 1999 hingga 2001 merupakan bulan madu antara warga Papua dengan pemerintah RI yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden keempat itu mengizinkan pengibaran Bendera Bintang Kejora, pelaksanaan Kongres Papua yang melahirkan PDP, serta penggunaan kembali istilah Papua untuk menghapus nama Irian Jaya.
Selanjutnya pergantian rezim mengubah peta dialog antara pemerintah pusat dan Papua. Ketua PDP Theys Hiyo Eluay tewas pada November 2001. Penyidikan Kepolisian Daerah Papua serta keputusan pengadilan militer menunjuk anggota Komando Pasukan Khusus sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan Theys.
Juni 2002, Kepolisian akhirnya menangkap Benny. Ia dituduh menyerang kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura, Papua, pada 7 Desember 2000. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mencatat, seorang polisi tewas dan tiga orang lainnya mengalami luka akibat peristiwa yang kini disebut sebagai pemicu Peristiwa Abepura.
Kejadian yang kemudian disidangkan di pengadilan hak asasi manusia berat itu membebaskan dua perwira tinggi Polri dari seluruh dakwaan. Di sisi lain, Benny menghadapi ancaman pidana penjara selama 25 tahun.
Jadi eksil di Inggris
Satu bulan setelah persidangan pertamanya, Oktober 2002, Benny melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Ia menyelundupkan diri ke perbatasan Papua dan Papua Nugini sebelum akhirnya terbang ke Inggris dan mendapatkan suaka dari pemerintah setempat.
“Saya sebenarnya tidak ingin melarikan diri ketika itu, tapi saya tidak bersalah. Saya membela masyarakat saya. Pemerintah Indonesia tiga kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap saya di penjara,” ujar Benny pada forum TEDx di Sydney, Australia, Mei 2003.
Saat menjadi pembicara pada forum yang digagas lembaga nirlaba internasional itu, Benny menuturkan keputusan melarikan diri dia ambil di menit-menit terakhir.
“Saya berpikir, jika saya tetap di tempat itu, saya akan terbunuh. Salah satu pemimpin pergerakan, Theys Elluay, dibunuh Kopassus tahun 2001. Setahun kemudian, saya menjadi target mereka karena saya adalah salah satu penggagas gerakan,” ucapnya.
Kini Benny hidup di Inggris bersama istri dan anak-anaknya. Ia berkeliling dunia mengampanyekan referendum bagi masyarakat Papua.
Dalam usahanya, Benny didampingi Jennifer Robinson, seorang advokat yang bergiat pada isu hak asasi manusia. Jennifer dikenal atas advokasinya terhadap Julian Assange pada kasus WikiLeaks.
Juni 2002, Kepolisian akhirnya menangkap Benny. Ia dituduh menyerang kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura, Papua, pada 7 Desember 2000. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mencatat, seorang polisi tewas dan tiga orang lainnya mengalami luka akibat peristiwa yang kini disebut sebagai pemicu Peristiwa Abepura.
Kejadian yang kemudian disidangkan di pengadilan hak asasi manusia berat itu membebaskan dua perwira tinggi Polri dari seluruh dakwaan. Di sisi lain, Benny menghadapi ancaman pidana penjara selama 25 tahun.
Jadi eksil di Inggris
Satu bulan setelah persidangan pertamanya, Oktober 2002, Benny melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Ia menyelundupkan diri ke perbatasan Papua dan Papua Nugini sebelum akhirnya terbang ke Inggris dan mendapatkan suaka dari pemerintah setempat.
“Saya sebenarnya tidak ingin melarikan diri ketika itu, tapi saya tidak bersalah. Saya membela masyarakat saya. Pemerintah Indonesia tiga kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap saya di penjara,” ujar Benny pada forum TEDx di Sydney, Australia, Mei 2003.
Saat menjadi pembicara pada forum yang digagas lembaga nirlaba internasional itu, Benny menuturkan keputusan melarikan diri dia ambil di menit-menit terakhir.
“Saya berpikir, jika saya tetap di tempat itu, saya akan terbunuh. Salah satu pemimpin pergerakan, Theys Elluay, dibunuh Kopassus tahun 2001. Setahun kemudian, saya menjadi target mereka karena saya adalah salah satu penggagas gerakan,” ucapnya.
Kini Benny hidup di Inggris bersama istri dan anak-anaknya. Ia berkeliling dunia mengampanyekan referendum bagi masyarakat Papua.
Dalam usahanya, Benny didampingi Jennifer Robinson, seorang advokat yang bergiat pada isu hak asasi manusia. Jennifer dikenal atas advokasinya terhadap Julian Assange pada kasus WikiLeaks.
Di Indonesia, Polri memasukkan nama Benny pada Daftar Pencarian Orang. Ia menjadi buron. Benny, menurut Badan Intelijen Negara, sesungguhnya tidak memiliki dukungan kuat di dunia internasional.
“Mereka (kelompok yang dipimpin Benny) bersinergi dengan LSM-LSM yang memang mendukung kelompok-kelompok separatis di manapun juga," kata Marciano Norman saat masih menjabat sebagai Kepala BIN.
Apapun, di tengah sorotan Kepolisian dan badan telik sandi terhadapnya, Benny belum berhenti menuntut kemerdekaan Papua.
September 2014, Benny berada di Glasgow, menyaksikan warga Skotlandia menjalankan pemungutan suara untuk menentukan masa depan negara mereka, tetap bergabung dengan Kerajaan Inggris atau memerdekakan diri.
Sebagaimana terekam pada video berjudul Benny Wenda from West Papua on Scottish Independence yang diunggah akun IndependenceLive ke situs Youtube, Benny sempat berpidato dan menyanyikan sebuah lagu di Glasgow kala itu.
“Hari ini saya menyaksikan penentuan nasib sendiri oleh masyarakat Skotlandia. Suatu saat, Anda juga akan menyaksikan referendum bagi masyarakat Papua Barat,” kata Benny, yakin.
“Mereka (kelompok yang dipimpin Benny) bersinergi dengan LSM-LSM yang memang mendukung kelompok-kelompok separatis di manapun juga," kata Marciano Norman saat masih menjabat sebagai Kepala BIN.
Apapun, di tengah sorotan Kepolisian dan badan telik sandi terhadapnya, Benny belum berhenti menuntut kemerdekaan Papua.
September 2014, Benny berada di Glasgow, menyaksikan warga Skotlandia menjalankan pemungutan suara untuk menentukan masa depan negara mereka, tetap bergabung dengan Kerajaan Inggris atau memerdekakan diri.
Sebagaimana terekam pada video berjudul Benny Wenda from West Papua on Scottish Independence yang diunggah akun IndependenceLive ke situs Youtube, Benny sempat berpidato dan menyanyikan sebuah lagu di Glasgow kala itu.
“Hari ini saya menyaksikan penentuan nasib sendiri oleh masyarakat Skotlandia. Suatu saat, Anda juga akan menyaksikan referendum bagi masyarakat Papua Barat,” kata Benny, yakin.
No comments:
Post a Comment